Seburuk apa?
“Wajah mu berantakan.” Cela perempuan berambut hitam dihadapannya.
“Apa pedulimu?”
“Aku peduli.”
“Ku kira tidak ada yang benar benar peduli.”
“Sudah lah, berhenti bersembunyi.”
“Aku tidak bersembunyi.”
“Berhenti menyangkal.”
“Aku tidak menyangkal.”
“Omong kosong, dirimu jelas jelas marah pada dunia.”
“Tidak juga, dunia memang memuakan.”
“Sudah ku bilang, berhentilah. Kau sedingin es.”
“Brengsek, apa peduli mu?!”
Perempuan berambut hitam itu menghela nafas.
“Maaf, kau benar. Aku memang marah pada dunia.” Sela ku.
“Kau marah pada diriku?”
“Kau bahkan tidak benar benar ada di dunia.”
“Tapi kau lihat sendiri kan, aku jelas jelas berada didepan mu.”
“Kumohon, berhenti mencela ku.”
“Penampilan mu memang pantas dicela.”
“Apa yang salah?”
Perempuan itu kembali menghela nafas panjang.
“Baik, tidak usah menjelaskan nya kepadaku. Biasanya aku tidak seperti ini, akhir akhir ini keadaan nya buruk.”
“Seburuk apa?”
“Seburuk lingkaran hitam dibawah mata ku, kau lihat?”
“Tidak seburuk itu.”
“Berbicara dengan mu sungguh membosankan.”
“Tidak juga, bagaimana dengan dirinya?”
“Diri nya?”
“Lelaki manis yang terakhir ku lihat bersama mu.”
“Ahh, dia tidak semanis itu.”
“Masalah terbesar mu adalah selalu menyangkal apa yang terlihat.”
“Aku bukan menyangkal.”
“Lalu apa lagi, membohongi diri sendiri?”
“Hanya berusaha melindungi hati.”
“Tahu apa kau soal hati?”
Aku menatap tajam si rambut hitam dan tersenyum pahit.
“Aku tahu, makanya aku selamat.”
“Kau tidak selamat, sialan. Kau terluka.”
“Setidaknya aku tidak terperangkap didalam, seperti dirimu sekarang.”
“Dia menyukai mu, kenapa kau tidak memberinya kesempatan?”
“Pertanyaan bodoh, aku tidak akan menjawab nya.”
Si rambut hitam tersenyum mencela.
“Cela saja sesuka mu.” Aku menantang.
“Kau berantakan.”
“Kau pikir keadaan mu lebih baik?”
“Dan kau rapuh.”
Aku meninju cermin dihadapan ku. Cermin itu pecah berkeping keping dan bernoda darah.
Perempuan berambut hitam itu seketika hilang, tidak pernah lagi terlihat.
Komentar
Posting Komentar